Monday, October 8, 2007

Tari Maena Di Pentas Kemri

Tari Maena Di Pentas Kemri

Afulu, 17 Agustus 2006.

Lapangan depan Kecamatan jadi ramai hari ini. Kamis. Harusnya ini hari pekan. Demi nasionalisme, moment penting mingguan ala orang Afulu itu harus dimajukan. Di Afulu, yang harusnya hari kamis dimajukan jedi hari Rabu. Di Faekunaa yang biasa hari Rabu, dimajukan jadi hari Selasa. Indonesia masih ada disana.

Kali ini, 17 Agustus terasa berbeda dari tahun-tahun kemarin. Biasanya aku mainkan terompet di Lapangan FIK UNY—bersama kawan-kawan CDB. Itu tahun lalu. Tahun ini, aku ada ditempat yang jauh. Jauh dari kebosanan. Rutinitas yang di Jogja terasa memuakan disini terasa berbeda. Sebenarnya aku mulai benci upacara, dengarkan pidato dalam posisi siap—seperti robot. Aku akan ikhlas bila aku seorang serdadu, tapi negeri ini tidak memberi kesempatan pada orang sepertiku—yang kurus, kere, nggak punya koneksi lagi. Pemuda macam aku harus sadar, tidak ada tempat bagi pemuda nasionalis, atau setidaknya Indonesianis, untuk menjadi serdadu—hanya yang punya uang yang bisa jadi serdadu. Ini zaman nyogok. Fuck off.

Bodoh ahh. Hari ini pokoknya beda. Aku pakai baju dan celana terbaik yang berhasil kuangkut ke Nias. Celana bermerk men! Aku malas sebut merknya—habis yang punya merk gak pernah bayar aku. Bagaimanapun aku mahasiswa terpandang dan lagi di Nias pula. Harapanku sih itu prodak bajakan karena aku mencintai prodak bajakan seperti aku mencintai istriku suatu hari nanti.

Rasanya aku gak perlu cerita soal upacara 17 Agustus yang pastinya akan membosankan sekali. Tiap tahun yang seperti itu. Pasukan disiapkan. Pengibaran bendera merah-putih, pembacaan proklamasi, pidato dan hal lain.

Lapangan ramai. Muda-mudi Nias berdandan cukup keren. Kalah kami mahasiswa Jogja.

Setelah upacara kami melihat kawan-kawan kecil kami sedang pentas. Mereka keren juga. Walau tidak sempurnagerakan dan oleh suaranya, mereka berusaha memperlihatkan diri mereka yang sebenarnya. Mereka seolah berkata, inilah aku. Dari mereka orang-orang memberi sawer. Lumayan, dapat banyak. Karena hari semakin siang dan panas kami pulang dulu. Karena suasanannya berbeda aku kembali lagi ke Lapangan bareng Abuso.

Hal yang paling berbeda hari ini adalah, tari Maena. Tari muda-mudi Nias. Canggung juga, tapi seru dan aku akan rindukan saat aku menarikannya dengan gerakan aneh gak jelas. Awalnya aku ragu untuk ikut. Tapi orang-orang mengajak seperti saudari tentu saja aku dan Abuso mau. Aku bukan dancer, tapi aku malah berlagak seperti Charlie Chaplin.

No comments:

Blog Archive

Bumi Manusia

Bumi Manusia
Peta Nias